Kamis, 28 Oktober 2010

Mogok Kerja

MOGOK KERJA

Mogok kerja diatur pada pasal 137 sampai dengan pasal 145 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 dan Kepmenaker Nomor Kep.232/Men/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah :

1. Pasal 137
Mogok kerja, sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Dalam pasal 3 Kepmenaker Nomor 232/Men/2003, bahwa mogok kerja tidak sah apabila :

a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 138

(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

2. Pasal 139

Pelaksanaan Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak menganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 5 Kepmenaker Nomor 232/Men/2003, bahwa :
Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok tidak sah.

Pemberitahuan mogok kerja :

Pasal 140 :

1. Pemberitahuan mogok kerja secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yan bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum dilakukan mogok kerja.

2. Pemberitahuan secara tertulis paling sedikit memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tanan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

3. Dalam hal mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota sp/sb, pemberitahuan mogok kerja ditanda tangani oleh perwakilan pkerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.

4. Dalam mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana diatur dalam angka 1, demi menyelamatkan alat produksi dan asset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara, dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada dilokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Tugas Instansi Pemerintah :

Pasal 141

1. Instansi pemerintah dan perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja, wajib memberikan tanda terima.

2. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

3. Dalam hal perundingan menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan pegawai instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

4. Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, pegawai dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan segera menyerahkan penyelesaian masalah pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

5. Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, atas dasar perundingan antara pengusaha dengan sp/sb atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Larangan :

1. Pasal 143

(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan sp/sb untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.

(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan sp/sb yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 140, pengusaha dilarang :

a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus sp/sb selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Hak pekerja/buruh atas upah :

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.


AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA TIDAK SAH

Pasal 145 UU Nomor 13 Tahun 2003

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.

Akibat hukum mogok kerja tidak sah diatur dalam pasal 6 s/d. 7 Kepmenaker Nomor Kep.232/Men/2003 :

1. Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir.
2. Panggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh pengusaha2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk panggilan secara patut dan tertulis.
3. Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebanyak 2 kali, dianggap mengundurkan diri.
4. Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud pasa pasal 5, dikualifikasikan sebagai mangkir.
5. Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang behubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN

TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mengatur tentang tunjangan hari raya keagamaan, dan ketentuan yang mengatur tentang tunjangan hari raya keagaam bagi pekerja di perusahaan yaitu Permenaker Nomor Per-04/Men/1994 tetap diberlakukan.

Pengaturan tunjangan hari raya keagamaan bagi pekeja di perusahaan sesuai dengan ketentuan diatas adalah :

Pasal 2 :
(1) Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih.
(2) THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) diberikan satu kali dalam satu tahun.

Pasal 3 :
(1) Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan sbb. :
a. pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1(satu) bulan upah.
b. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja, dengan perhitungan masa kerja x 1(satu bulan upah dibagi 12.

(2) Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.

(3) Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut kesepakatan kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan sesuai dengan PK atau PP atau KKB atau kebiasaan yang telah dilakukan.

Pasal 4 :
(1). Pemberian THR sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) disuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja kecuali kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain.

(2). Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.

Pasal 6 :
(1) Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pekerja dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu yang hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan.

Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Cuti

WAKTU KERJA, WAKTU ISTIRAHAT DAN CUTI

DASAR HUKUM

Dasar hukum yang mengatur waktu kerja dan upah lembur :

1. Pasal 77 dan pasal 78 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Kepala Kepolisian RI Nomor Kep.275/Men/1989 dan Nomor Pol.Kep /04/V/1989 tentang Pengaturan Jam Kerja, Shift dan Jam Istirahat serta Pembinaan Tenaga Satuan Pengamanan (SATPAM).

3. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Nomor Kep.102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

4. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.233/Men/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus.

5. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.234//Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.

Dasar Hukum yang mengatur Waktu Istirahat :

1. Pasal 79, pasal 80, pasal 81, pasal 82 dan pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.51/Men/IV/2004 tentang Istirahat Panjang Pada Perusahaan Tertentu.

WAKTU KERJA DAN KERJA LEMBUR

I. Waktu Kerja :

1. Setiap pengusaha wajib melaksanakan waktu kerja

( Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

2. Waktu kerja pasal 77 ayat (2) huruf a dan b meliputi :

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

3. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu

(Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

Ketentuan waktu kerja diatas hanya mengatur batas waktu kerja untuk 7 atau 8 sehari dan 40 jam seminggu dan tidak mengatur kapan waktu atau jam kerja dimulai dan berakhir.

Pengaturan mulai dan berakhirnya waktu atau jam kerja setiap hari dan selama kurun waktu seminggu, harus diatur secara jelas sesuai dengan kebutuhan oleh para pihak dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

II. Waktu Kerja Satpam :

SKB Menakertrans dan Kapolri Nomor Kep.275/Men/1989 dan Nomor Pol.Kep/04/V/1989 :

1. Amar ke I, memberlakukan aturan jam kerja termasuk waktu istirahat bagi tenaga kerja Satpam di lingkungan perusahaan dan badan hukum lainnya, menjadi tiga shift di mana setiap shift bertugas delapan jam sehari.

2. Amar ke II, Pimpinan perusahaan dan badan hukum lainnya mengatur jam kerja termasuk waktu istirahat bagi setiap tenaga kerja satpam secara bergiliran di masing-masing shift dengan jumlah jam kerja akumulatif tidak lebih dari 40 jam seminggu.

3. Amar ke III, Setiap tenaga kerja satpam yang bertugas melebihi jam kerja delapan jam sehari atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40 jam seminggu, harus sepengetahuan dan dengan surat perintah tertulis dari pimpinan perusahaan dan badan hukum lainnya yang diperhitungkan sebagai jam kerja lembur.

III. Kerja Lembur pada hari kerja biasa :

1. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam 1 (satu) minggu.

2. Pasal 3 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

a. ayat (1) :

waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu.

b. Ayat (2) :

Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.

IV. Kerja Lembur Pada Hari Libur Resmi :

1. Pasal 85 UU No. 13/2003 :

a. Ayat (1) :

Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.

b. Ayat (2) :

Pengusaha dapat memperkerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

2. Kepmenakertrans Nomor Kep.233/Men/2003 :

a. Pasal 1 ayat (1) :

yang dimaksud dengan pekerjaan yang diljalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

b. Pasal 2 :

pengusaha dapat memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus.

c. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yakni :

d. pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;

e. pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;

f. pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;

g. pekerjaan di bidang usaha pariwisata;

h. pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;

i. pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM) dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;

j. pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;

k. pekerjaan di bidang media masa;

l. pekerjaan di bidang pengamanan;

m. pekerjaan di lembaga konservasi;

n. pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.

V. Persyaratan Kerja Lembur :

- Pasal 78 ayat (1) UU No. 13/2003 :

pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

- Pasal 6 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

a. Ayat (1) :

untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.

b. Ayat (2) :

perintah tertulis dan persetujuan tertulis dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditanda tangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.

c. Ayat (3) :

pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.

5. Pasal 7 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

A. Ayat (1) :

Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban :

a. membayar upah lembur;

b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;

c. memberi makan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.

B. Ayat (2) :

pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c tidak boleh diganti dengan uang.

VI. Pembayaran Upah Lembur :

A. Upah Lembur :

- Pasal 78 UU No. 13/2003 :

pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

- Pasal 8 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

a. Ayat (1) :

perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.

b. Ayat (2) :

cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.

- Pasal 10 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

a. Ayat (1) :

dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.

b. Ayat (2) :

dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

- Pengertian Tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap :

a. tunjangan tetap adalah tunjangan yang diberikan kepada pekerja/buruh secara tetap dan teratur dan dibayarkan bersamaan dengan upah pokok.

b. tunjangan tidak tetap adalah tunjangan yang diberikan kepada pekerja/buruh berdasarkan hari kehadiran pekerja buruh

VII. Nilai Jam Kerja Lembur :

Pasal 11 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

Nilai jam kerja lembur pada hari kerja biasa :

1. Untuk jam kerja lembur pertama dikali 1,5 (satu setengah).

2. Untuk jam lembur berikutnya dikali 2 (dua).

Nilai jam kerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi untuk 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu :

1. Untuk kerja lembur 7 jam pertama dikali 2 (dua).

2. Untuk jam kedelapan dikali 3 (tiga).

3. Untuk jam kesembilan dan kesepuluh dikali 4 (empat).

Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek :

1. Untuk 5 (lima) jam pertama dikali 2 (dua).

2. Jam keenam dikali 3 (tiga).

3. Jam ketujuh dan kedelapan dikali 4 (empat).

Nilai jam kerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi untuk 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu :

1. Untuk kerja lembur 8 jam pertama dikali 2 (dua).

2. Untuk jam kesembilan dikali 3 (tiga).

3. Untuk jam kesepuluh dan dan kesebelas dikali 4 (empat).

Pasal 12 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.

VIII. Pekerja Yang Tidak Berhak Atas Upah Lembur :

Pasal 4 Kepmenakertrans Nomor Kep.102/Men/VI/2004 :

1. Ayat (1) :

pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur.

2. Ayat (2) :

bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur sebagaimana dimaksud ayat (1), dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi.

3. Ayat (3) :

yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk pelaksanaannya kriteria golongan jabatan tertentu tersebut harus diatur secara jelas oleh para pihak dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

WAKTU ISTIRAHAT/CUTI

Pelaksanaan waktu istirahat dan cuti diatur pada pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, adalah istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti tahunan dan istirahat panjang yang pengaturannya adalah sebagai berikut :

1. Kewajiban Memberikan Wakti Istirahat dan Cuti :

Pasal 79 ayat (1) :

Pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.

2. Istirahat Antar Jam Kerja :

Pasal 79 ayat (2) :

Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.

Waktu istirahat antar jam kerja ini harus diberikan dalam bentuk istirahat badan.

3. Istirahat Mingguan :

Pasal 79 ayat 2 sub b :

Istirahat mingguan 1(satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

4. Cuti Tahunan :

a. Pasal 79 ayat (3) :

cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

b. Pasal 79 ayat (4) :

Pelaksanaan waktu cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

5. Istirahat Panjang :

1. Pasal 79 ayat (2) sub d :

Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan tahun kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

2. Pasal 79 ayat (4) :

Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

3. Pasal 79 ayat (5) :

Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep. 51/Men/IV/2004 tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu :

1. Pengertian :

Pasal 1 ayat (1) :

1) Istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama.

2) Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.

2. Lingkup Pemberlakuan :

Pasal 2 :

Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama ini telah melaksanakan istirahat panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini.

3. Hak Pekerja/Buruh Dalam Pelaksanaan Istirahat Panjang :

1) Pasal 3 ayat (1) :

Pekerja/buruh yang melaksanakan istirahat panjang pada tahun ketujuh dan tahun kedelapan, tidak berhak atas istirahat tahunan.

2) Pasal 3 ayat (2) :

Selama menjalankan istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada pelaksanaan istirahat panjang tahun kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setegah bulan gaji.

3) Pasal 3 ayat (3) :

Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.

4. Kewajiban Pengusaha :

Pasal 4 ayat (1) :

Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh tentang saat timbulnya hak istirahat panjang selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum hak istirahat panjang timbul.

Pasal 3 ayat (2) :

Membayar kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji dalam pelaksanaan istirahat panjang pada tahun kedelapan.

5. Penundaan Pelaksanaan Istirahat Panjang :

Pasal 5 ayat (1) :

Perusahaan dapat menunda pelaksanaan istirahat panjang untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak timbulnya hak atas istirahat panjang dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh dan atau perusahaan.

Pasal 5 ayat (2) :

Penundaan pelaksanaan istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

6. Gugurnya Hak Istirahat Panjang :

Pasal 4 ayat (2) :

Hak atas istirahat panjang gugur apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak hak atas istirahat panjang tersebut timbul pekerja buruh tidak mempergunakan haknya.

Pasal 4 ayat (3) :

Hak atas istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak gugur apabila pekerja/buruh tidak dapat mempergunakan haknya tersebut karena kehendak pengusaha.

7. Dalam Hal Terjadi PHK :

Pasal 6 :

Dalam hal terjadi PHK, tetapi pekerja/buruh belum menggunakan hak istirahat panjang dan hak tersebut belum gugur atau pengusaha menunda pelaksanaan istirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas suatu pembayaran upah dan kompensasi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima.

8. Pelaksanaan Hak Istirahat Panjang :

Pasal 7 ayat (1) :

Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang lebih baik dari ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan dalam Keputusan Menteri ini, maka perusahaan tidak boleh mengurangi hak tersebut.

Pasal 7 ayat (2) :

Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang kepada pekerja/buruh tetapi lebih rewndah dari ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri ini, maka perusahaan wajib menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.

Pasal 8 :

Pelaksanaan Istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

9. Hak Untuk Melaksanakan Ibadah Agama :

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

(pasal 80 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

10. Cuti Haid, Hamil, Melahirkan atau Gugur Kandungan :

1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasa sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

(pasal 81 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

2) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

(Pasal 82 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

3) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. (pasal 82 ayat 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

4) Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

(pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

5) Permenaker Nomor Per.03/Men/1989 tentang larangan PHK bagi pekerja wanita karena menikah, hamil dan melahirkan.

a. Pasal 2 :

pengusaha dilarang mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja wanita karena menikah, hamil atau melahirkan baik dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu.

b. Pasal 3 :

pengusaha wajib merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja wanita tanpa mengurangi hak-haknya bagi perusahaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan memperkerjakan pekerja wanita hamil.

11. Hak Mendapatkan Upah :

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, pasal 80 dan pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

(pasal 84 UU Nomor 13 Tahun 2003).

- istirahat mingguan;

- cuti tahunan;

- istirahat panjang;

- melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya;

- cuti hamil, melahirkan dan gugur kandungan.

12. Tuntutan Pembayaran Upah :

Pasal 96 UU Nomor 13/2003 :

tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.