Selasa, 30 Desember 2008

Pemberdayaan Perempuan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan

Perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani suami", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini.

Keharusan manusia untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual). Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari proses bersama (komunal) menjadi proses sendirian (individual).


Sekalipun berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik, perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, terjadi perubahan penting mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan :

Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi pertanian, peran perempuan ikut terpinggirkan dimana jika selama ini perempuan turut dalam proses pengolahan hasil pertanian dengan ikut ke sawah atau ke kebun, namun kemudian perempuan hanya tinggal dirumah menanti hasil kebun atau sawah dating ke rumah. Kalaupun terlibat hanya sebagian kecil saja dari proses produksi pertanian tersebut.

Dan sebagai akibat logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif (melayani suami dan mengasuh anak-anak).

Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup.

Ketiga, Tingkat pendidikan perempuan yang rata-rata sangat rendah sebagai akibat budaya masyarakat – terutama di pedesaan - yang menganggap bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya akan kembali juga ke dapur” menjadikan rata-rata perempuan tidak memiliki skill dan pengetahuan yang lebih disbanding laki-laki.

Karena perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah perempaun semakin terpinggirkan dalam perannya dalam peningkatan kesejahteraan keluarga.

Untuk mengembangkan potensi yang dimiliki perempuan tersebut, maka diperlukan sebuah model peningkatan sumber daya perempuan yang nantinya diharapkan akan mendorong perempuan untuk mampu mengambil peran dan posisi strategis dalam keluarga dan dalam lingkungan sosialnya.

Kita semua tentunya sepakat bahwa Perempuan memiliki Peran yang sangat penting dalam keluarga. Hanya saja saat ini rata-rata perempuan tidak mampu untuk mengambil peran penting tersebut sehingga yang terjadi dalam masyarakat kita, perempuan hanya “mampu” mengurus dapur tapi tidak mampu untuk mencari tambahan untuk dapurnya. Disisi lain Tingkat pendidikan perempuan yang rata-rata sangat rendah sebagai akibat budaya masyarakat terutama di pedesaan - yang menganggap bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya akan kembali juga ke dapur” menjadikan rata-rata perempuan tidak memiliki skill dan pengetahuan yang lebih dibanding laki-laki.

Untuk itu, maka perempuan haruslah mampu memberdayakan dirinya sehingga dapat mengambil peranan dalam keluarga terutama untuk meningkatkan taraf kesejahteraan keluarganya.

Keberadaan perempuan sangatlah menentukan keberlangsungan kehidupan suatu kaum/bangsa. Disisi lain, perempuan sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya mendorong peningkatan taraf hidup keluarganya sekaligus peningkatan kondisi sosial lingkungannya. Potensi perempuan yang kemudian karena perkembangan zaman menjadi terkungkung dan terpinggirkan inilah yang harus didorong untuk ditumbuhkembangkan sebagai sebuah potensi dalam perkembangan kehidupan sosial masyarakat.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka sebagai kesimpulan dari pembahasan ini adalah :

1. Perempuan harus berfikir maju, dengan mengubah pemikiran bahwa hanya laki-laki yang bertugas mencari nafkah keluarga, dengan memposisikan diri sebagai bagian dari upaya menggerakkan dan meningkatkan kesejahteraan /ekonomi keluarga.

2. Perempuan harus mengambil posisi strategis dalam kegiatan sosial kemasyarakatn dengan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Tidak ada komentar: